Karena Engkau Permata Terindah Ukhty



Pernah terpikir memiliki intan berlian terindah di dunia? 
Atau istana bertahtakan zamrud dan permata? 
Mungkin saja gaun beruntai mutiara, ataupun bilik berlapis emas yang mahal tiada tara?
Tapi pernahkah terbayangkan, jika kita bisa menjadi “sebaik-baik perhiasan” di dunia?
 Yang tentu saja lebih baik dari gunungan intan permata, lautan mutiara, dan berbukit emas dan perak yang memukau?
 Yang tentu saja, betapa luar biasa harga dirimu, hingga hanya “surga” yang mampu membelimu!



Jadilah perhiasan terindah, yang tak akan mampu terbeli oleh para penjaja fashion, para pebisnis aurat, dan para kapitalis nafsu.
 Jika mereka tak tertarik mempekerjakanmu karena jilbab dan kerudungmu, itu bukan karena kau tak laku, tapi mereka yang tak mampu membelimu! Harga mu tak cukup murah hanya dengan sekian puluh juta setelah kau berlenggak-lenggok memamerkan kemolekan tubuhmu, dengan suaramu yang merayu, atau wajahmu yang membuat barang dagangan mereka terjual bak kacang goreng di pinggir jalan.

Keshalehanmu, adalah kecantikan sejati. Yang tak akan bisa dimiliki hanya dengan polesan bedak, pemerah bibir, ataupun perona pipi. Ketundukanmu adalah pesona hakiki. Yang hanya akan terlihat oleh mata para penghuni surga, bukan oleh para budak dunia. Jilbab dan kerudungmu adalah keindahan sejati. Yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mendapatkan ijin dari Sang Maha Indah, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kecerdasanmu, adalah harta yang tak ternilai, yang setiap tetes ilmunya hanya mampu ditebus dengan istana surga. Subhanallah.

Ya, ketika aku menyadari betapa berharganya diriku ini, maka tak ada kebanggaan dalam diri selain kebanggaan menjadi kekasihNya. Aku tak peduli mataku yang laksana Kristal bercahaya ini tak teramati oleh mereka, derai rambutku yang bagaikan mutiara mengurai tak tampak oleh mereka, tubuhku yang bagaikan permata bertahtakan emas tak tersentuh oleh mereka, tangan dan kaki yang berbalut intan terbaik tak dinikmati gemulainya oleh mereka, karena aku hanya peduli untuk dinikmati oleh manusia seharga surga, dialah lelaki sholeh yang dihalalkan olehNya, karena hanya itulah harga yang pantas untukku.
Dan lihatlah dirimu, seberapa banyak kau layak dihargai?
Maka belilah muslimah yang mampu menjaga kehormatannya, dengan keshalehanmu, karena hanya itulah harga yang pantas untuk mereka.

readmore »»  
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Meraih Surga dengan Cinta

Bismillahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaykum Warohmatullahi Wabarokatuh
Cinta, lima huruf yang banyak dibicarakan lisan namun susah untuk didefinisikan. Sebuah kata yang kini laris menjadi komoditas perniagaan. Sayang, banyak pihak yang tidak mengetahui hakikat cinta ini sehingga memosisikannya sebagai pembenar kemaksiatan yang dia lakukan.
Di sisi lain, cinta sejatinya merupakan Ibadah besar jika kita mampu menempatkannya tepat di dalam posnya. Hanya, kita perlu mengetahui bagaimana cara kita beribadah dengan cinta agar kita bisa mendapatkan pahala dari cinta kita.
Pembaca, dakwah Islam memiliki keutamaan yang sangat besar. Cukuplah sebagai keutamaan, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkan.” Ya, orang yang memerintahkan akan mendapat pahala yang sama seperti yang melaksanakannya. Kabar baiknya, kita bisa ikut andil dalam dakwah yang mulia ini. Cukup dengan menyebarkan majalah yang ringan ini kepada, saudara, handai tolan, keluarga, berarti kita telah ikut andil dalam dakwah. Barangkali dengan ini, Allah berkehendak untuk memberikah hidayah dengan perantaraan kita. Siapa tahu?
Akhir kata, mudah-mudahan pembaca dapat menikmati sajian kami dan mendapatkan faedahnya.
Wassalamu’alaykum Warohmatullahi Wabarokatuh
Ringkasan:
Telaah 1: Hakikat Cinta
Cinta kepada Allah adalah wajib. Cinta yang disertai dengan sikap pengagugan, pemuliaan, juga penghambaan dan perendahan diri terhadap-Nya. Inilah cinta ibadah yang harus diberikan kepada Allah semata, tidak boleh kepada selainnya sedikitpun.
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). [Q.S. Al Baqarah: 165]
Katakanlah: “jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. [Q.S. At-Taubah: 24]
Sungguh tatkala seorang hamba mencintai Allah, tentu Allah tidak akan menyia-nyiakannya, sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya tentang hari kiamat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang engkau persiapkan untuk menyambutnya?” Orang tersebut menjawab, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam aku tidak mempunyai persiapan dengan melakukan banyak shalat, tidak pula dengan berpuasa untuk menyambutnya. Hanya saja, aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang bersama siapa yang dicintainya, dan engkau bersama dengan yang engkau cintai.” Maka, tidaklah kaum muslimin bergembira setelah keislaman mereka sebagaimana kegembiraan mereka mendengar hadits ini.
Telaah 2: Bukti Cinta
  1. Mencintai perkara-perkara yang Allah cintai
  2. Membenci perkara-perkara yang Allah benci
  3. Mendahulukan hal-hal yang Allah dan Rasul-Nya cintai
  4. Mengikuti dan mencontoh Nabi dalam semua pengamalan ibadah
Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Q.S. Ali Imran: 31]
Telaah 3: Cinta Terlarang
Cinta yang tercela adalah cinta yang tidak dapat memberikan manfaat di dunia dan akhirat, bahkan bisa jadi akan mengakibatkan mudharat bagi pemiliknya dalam dua kehidupan. Perhatikanlah bagaimana Allah mencela para kekasih yang saling berkasih sayang di atas maksiat kepada Rabbnya, kebencian terhadap agama-Nya dan permusuhan kepada pemeluknya.
Allah berfirman:
Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. [Q.S. Az-Zukhruf: 67]
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. [Q.S. Al Munafiqun: 9]
Tetapi kalian memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. [Q.S. Al-A’la: 16-17]
Figur: Mush’ab bin Umair
Keteladanan dalam Cinta. Sahabat yang rela meninggalkan nikmatnya dunia di tangan orang tuanya menuju cinta Rabbnya.  Pemuda tampan dan gagah ini lebih memilih cinta Rabbnya meskipun kehilangan kekayaan dan kedudukan yang dahulu dia miliki. Beliau berjalan di atas jalan dakwah dan meninggal syahid dalam pertempuran. Semoga Allah meridhai dan merahmatinya.
Tafsir: Jika Engkau Cinta…
Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Q.S. Ali Imran: 31]
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. [Q.S. An-Nisa’: 80]
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. [Q.S. Al-Hasyr: 7]
Hadits: Mengecap Manisnya Iman dengan Cinta
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal, barangsiapa yang tiga hal itu ada padanya, maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; tidaklah ia mencintai seseorang kecuali karena Allah; seorang yang tidak mau kembali kedalam kekufuran, sebagaimana ia benci untuk dilemparkan kedalam api neraka.” [HR Al Bukhari dan Muslim]
Dari hadits di atas kita bisa mengetahui bahwa untuk mendapatkan manisnya iman, seorang dapat melakukan tiga perkara:
  1. Allah serta Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Keduanya lebih ia cintai daripada dirinya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang riwayat dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku,” Maka Rasulullah bersabda, “Demi jiwaku yang berada di Tangan-Nya, (tidak benar), sampai aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.” Umar berkata, “Sekarang wahai Rasulullah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Rasulullah bersabda, “Sekarang (baru benar) wahai Umar.” [HR Al-Bukhari]
  2. Mencintai seseorang karena Allah. Seorang yang mencintai Allah tentu akan mencintai apa yang Allah cintai. Ketika Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang shalih maka kita pun harus mencintai mereka. Meskipun kita tidak bisa memastikan seseorang shalih di sisi Allah atau tidak, namun kita bisa menilainya dari lahiriahnya yaitu pengamalan syariat yang dilakukan. Tatkala ia senang mengamalkan amalan shalih dan meninggalkan keharaman maka ketika itulah kita mencintainya.
  3. Benci kembali kepada kekafiran. Kekafiran adalah lawan dari keimanan. Seseorang akan mendapatkan manisnya keimanan tatkala terkumpul padanya kecintaan teradhiyallahu ‘anhudap perkara-perkara keimanan dan kebencian atas perkara-perkara yang menggugurkannya.
Telisik: Atas Nama Cinta
Cinta. Kata yang dianggap suci ini semakin laris digunakan. Tema cinta seakan sebuah topik sakti untuk menyedot peradhiyallahu ‘anhutian publik dan menarik simpati. Sayang tak jarang, kata yang dianggap suci ini digunakan untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah ‘Azza wa Jalla.
Tema cinta memang selalu menarik peradhiyallahu ‘anhutian. Sebuah kata yang kini lebih dominan bermakna rasa yang terjalin antara dua lawan jenis ini memiliki pengaruh yang dalam pada seseorang. Karena cinta, seseorang yang dahulunya penakut bisa berubah menjadi pemberani. Karena cinta, seseorang rela memberikan segala yang dia miliki.
Dengan kata cinta pula, banyak dari kita merasa iba dan simpati kepada orang yang memilikinya. Sehingga banyak dari kita tidak tega untuk memisahkan antara dua orang yang saling mencinta. Disayangkan, begitu banyak media –baik cetak maupun elektronik- memberikan pemahaman yang keliru mengenai cinta dan konsekuensinya. Tulisan-tulisan yang dibuat pun ikut andil dalam mencitrakan cinta melenceng dari seharusnya. Sehingga, tak jarang cinta yang dimaksud oleh orang-orang adalah cinta yang mengandung kemaksiatan.
Tazkiyatun Nufus: Tiga Kalbu
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [Q.S. Al Isra’; 36]
Macam-Macam Kalbu
1.       Kalbu yang Sehat
Di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. [Q.S. Asy-Syuara’: 88,89]
Yaitu kalbu yang selamat dari nafsu yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya.
2.       Kalbu yang Mati
Kalbu yang tidak pernah cinta dan ridha kepada-Nya, bahkan tenggelam dalam nafsu syahwatnya. Tidak peduli dengan apapun walaupun menyebabkan kemurkaan Rabb-nya. Hawa nafsu sebagai pemimpinnya, kebodohan sebagai penuntunya, dan lalai sebagai tunggangannya. Allah Ta’ala berfirman:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? [Q.S. Al Jatsiyah: 23]
[1]. Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.
3.       Kalbu yang Sakit
Yaitu kalbu yang masih memiliki kehidupan tetapi terjangkiti oleh penyakit.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa mengkaruniakan kepada kita kalbu yang sehat, kalbu yang istiqomah dalam ketaatan kepada-Nya hingga bertemu dengan-Nya. Aamiin.
Bukankah ketika cinta menggebu kita ingin segera mendapatkan dan memilikinya? Atau hanya sekedar melihat sebagai pengobat rindu? Kadang rela mengorbankan sesuatu yang paling beradhiyallahu ‘anhurga atau bahkan segala-galanya? Untuk yang dicinta…
Saat kita cinta kepada Allah, maka Allah berfirman: (yang artinya)
“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS Al Ankabut: 5]
Ketika Allah mengetahui besarnya kerinduan para wali-Nya untuk bertemu dengan Allah, maka Allah tetapkan bagi mereka ajal dan waktu pertemuan-Nya yang membuat tenang jiwa-jiwa mereka.
Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang senang berjumpa dengan Allah, Allah pun senang dengan perjumpaannya.” [HR Al-Bukhari dan Muslim]
Seberapakah kecintaan dan kerinduan kita kepada-Nya? Dan seberapakah kadar persiapan kita untuk bertemu yang dicinta?
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 02 vol. 01 1432 H-2011 M “Meraih Surga dengan Cinta”
readmore »»  
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Kemuliaan Sifat Qonaa’ah dan ‘Iffah

 Al Qonaa’ahالقناعة - (merasa cukup dengan pemberian Allah), dan
Al ‘Iffahالعفة - (menahan diri dari hal-hal yang tidak baik)
Jadilah engkau orang yang bersifat qana’ah, niscaya engkau menjadi manusia yang paling bersyukur.”
 Gambaran orang yang haus terhadap dunia, selalu ingin memperbanyak harta dengan rakus tamak, adalah yang senang dengan yang hina, terbiasa mengeluh, dan selalu meminta. Inilah gambaran yang tidak sesuai dengan kemuliaan seorang mujahid (pejuang), qana’ah (merasa cukup), ‘iffah (menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik), dan ridho dengan pembagian Allah I kepadanya.
            Sesungguhnya sikap pasrah terhadap sifat tamak (rakus) tidak akan ada akhirnya apabila seseorang melepaskan tali kendali nafsu syahwatnya. Disebutkan dalam hadits:
…إِنَّ هذَا اْلمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ, فَمَنْ أَخَذَهَا بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْهِ, وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ, كاَلَّذِي يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ
Sesungguhnya harta ini berwarna hijau serta manis, maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kemurahan jiwa niscaya diberikan berkah baginya pada harta itu. Dan barangsiapa mengambilnya dengan nafsu serakah niscaya tidak diberikan berkah baginya pada harta itu, seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang…”[1]
            Sifat tamak menguasai orang-orang yang melakukan persaingan dalam urusan dunia dan perhiasannya, yang selalu memperhatikan orang-orang yang di atas mereka. Imam an-Nawawi rohimahulloh memberikan alasan terhadap hal itu dengan katanya: “Karena apabila manusia melihat kepada orang yang diberikan karunia dalam perkara dunia, nafsunya menuntut seperti hal itu dan menganggap kecil/remeh nikmat Allah I yang ada padanya, dia ingin bertambah, supaya bisa menyusul dengan hal itu atau mendekatinya, inilah realita mayoritas manusia…”[2]
Sifat tamak yang berlebihan di dalam jiwa seseorang bisa merusak agamanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِى غَنمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
Tidak ada dua ekor srigala yang dilepas pada kambing lebih merusak baginya terhadap agamanya daripada sifat tamak seseorang terhadap harta dan kemuliaan.”[3]
            Ketergantungan hati yang berlebihan terhadap perhiasan dunia dan memperbanyak harta memperbudak hamba, dan Rosululloh r memanggil orang-orang seperti itu dengan sebutan orang yang celaka:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخُمَيْصَةِ: إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لُمْ يُعْطَ سَخِطَ, تَعِسَ وَاْنتَكَسَ…
Celaka budak dinar dan budak dirham serta budak khumaishah: jika diberi, ia senang, jika tidak diberi, ia marah, celaka dan jatuh terjungkir.”[4]
            Sifat qona’ah tidak bisa diperoleh kecuali dengan mujahadah (bersungguh-sungguh melawan) hawa nafsu dan dengan taufik Allah I:
…مَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
Barangsiapa berusaha ‘iffah (menghindar dari yang tidak terpuji) niscaya Allah I menjadikannya ‘iffah, dan barangsiapa yang merasa cukup niscaya Allah I memberikan kecukupan kepadanya.”[5]
Salah seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam t menolak mengambil haknya dari harta fai (harta rampasan perang yang diperoleh tanpa melakukan pertempuran) -sekalipun Khalifah ‘Umar t beberapa kali menawarkan hal itu kepadanya-. Ibnu Hajar al-’Asqolani rohimahulloh menyebutkan alasan penolakannya dengan katanya: “Dia t menolak mengambilnya (padahal harta itu adalah haknya), karena ia khawatir menerima sesuatu dari seseorang, lalu terbiasa mengambil, hingga jiwanya melewati sesuatu yang tidak dikehendakinya, maka ia menyapihnya dari hal itu, dan meninggalkan sesuatu yang meragukannya kepada yang tidak meragukannya…”[6]
Dan Rosululloh r menyebutkan para penghuni surga, di antaranya:
عَفِيْفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُوْ الْعِيَالِ
Orang yang ‘iffah, berusaha menahan dari meminta, sedang dia mempunyai keluarga.’[7]
Karena sesungguhnya ia berjuang melawan nafsunya, padahal sangat membutuhkan.
            Termasuk kesempurnaan sifat tidak meminta: sesungguhnya para sahabat melakukan bai’at kepada Rosululloh r bahwa mereka tidak akan meminta sesuatu kepada manusia. Dan yang meriwayatkan hadits menceritakan kondisi mereka setelah Rosululloh r (wafat), ia berkata : “Sungguh sebagian dari golongan itu (yakni para shohabat) pernah terjatuh tongkatnya, maka ia tidak meminta kepada seseorang lain pun untuk mengambilkan tongkatnya.”[8]
Hal ini karena mereka sangat bersungguh-sungguh menepati bai’at mereka terhadap Rosululloh r. Dan dalam dialog bersama Abu Dzarr t, Rosulullah r bersabda :
كَيْفَ أَنْتَ وَجُوْعًا يُصِيْبُ النَّاسَ حَتَّى تَأْتِيَ مَسْجِدَكَ فَلاَ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِكَ, وَلاَتَسْتَطِيْعُ أَنْ تَقُوْمَ مِنْ فِرَاشِكَ إِلَى مَسْجِدِكَ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: عَلَيْكَ باِلْعِفَّةِ
Bagaimana engkau, sedangkan rasa lapar menimpa manusia, sehingga engkau datang ke masjidmu, maka engkau tidak mampu kembali ke tempat tidurmu, dan engkau tidak bisa bangun dari tempat tidurmu ke masjidmu? Ia berkata,’Aku menjawab: ‘Allah I dan Rasul-Nya r lebih mengetahui.’ Beliau r bersabda: ‘Engkau harus bersifat ‘iffah…”[9]
            Dan termasuk mujahadah adalah bahwa engkau tidak mengadu kecuali hanya kepada Allah I dan tidak menantikan kelapangan kecuali hanya dari Allah I, maka di dalam hadits:
مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا للِنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ, وَمَنْ أَنْزَلَهَا باِللهِ أَوْشَكَ اللهُ لَهُ باِلْغِنَى: إِمَّا بِمَوْتٍ آجِلٍ أَوْ غِنًى عَاجِلٍ.
Barangsiapa yang ditimpa kefakiran, lalu ia mengadukannya kepada manusia, niscaya tidak tertutupi kekurangannya. Dan barangsiapa yang mengadukannya kepada Allah I, hampir-hampir Allah I memberikan kekayaan kepadanya, bisa dengan kematian yang tertunda atau kekayaan yang cepat (di dunia).”[10]
            Dan dalam kondisi yang sangat terpaksa, yang mendorong seseorang mengulurkan tangannya untuk meminta, syarat meminta adalah tidak mendapatkan kemampuan, karena Allah I menggambarkan orang-orang fakir dengan firman-Nya:
لِلْفُقَرَآءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي اْلأَرْضِ
(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah:  mereka tidak dapat (berusaha, bekerja) di bumi; (QS. al-Baqarah:273)

Ibnu Hajar rohimahulloh berkata, “Karena orang yang mampu bekerja di muka bumi, berarti ia menemukan salah satu syarat untuk menjadi mampu/kaya. Dan yang dimaksud ‘orang-orang fakir yang terikat/tertahan’ maksudnya terikat oleh jihad fi sabilillah, yaitu karena kesibukan mereka berjihad, mereka tidak punya waktu untuk bekerja.”[11]
Rosululloh r memberikan ijin untuk meminta dalam batasan yang sangat sempit, seperti dalam hadits:
…حَتَّى يُصِيْب قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ سَدَادًا مِنْ عَيْشٍ… فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْئَلَةِ –يَاقَبِيْصَةُ- سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
…Sehingga ia mendapatkan kebutuhan pokok, atau mencukupi kehidupan…maka meminta selain yang demikian itu –wahai qabishah- adalah haram, pemiliknya memakannya secara haram.”[12]
Imam an-Nawawi rohimahulloh menyebutkan kesepakatan ulama atas larangan meminta kalau bukan karena terpaksa. Dan disyaratkan bolehnya meminta bagi orang yang masih mampu bekerja dengan tiga syarat : bahwa ia jangan merendahkan dirinya, jangan terus menerus meminta, dan jangan menyakiti yang diminta. Jika kurang salah satu syarat ini, maka hukumnya haram menurut konsensus ulama. Wallahu A’lam.[13]
            Dan harta yang datang tanpa diikuti keinginan nafsu kepadanya, Rosululloh r bersabda tentang hal itu:
إِذَا جَاءَكَ مِنْ هذَا الْمَالِ شَيْئٌ –وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَسَائِلٍ- فَخُذْهُ وَمَالاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسُكَ
Apabila sedikit dari harta ini datang kepadamu –sedangkan engkau tidak mengharapkan dan tidak meminta- maka ambillah, dan yang tidak (seperti itu), maka janganlah diikuti oleh nafsumu.”[14]
Supaya terpenuhi dalam diri seorang muslim faktor-faktor kecukupan dan qana’ah dengan sifat mulia dan terhormat, Islam menganjurkan kepadanya agar bekerja. Rosululloh r bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ َلأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَحْتَطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَ رَجُلاً فَيَسْأَلُهُ, أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ.
Demi Allah I yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh salah seorang darimu mengambil talinya, lalu ia memikul kayu bakar di pundaknya, lebih baik baginya daripada ia datang kepada seseorang, lalu ia meminta kepadanya, (sama saja) dia memberinya atau tidak.”[15]
Ibnu Hajar menyebutkan faedah-faedah hadits ini : anjuran untuk menahan diri dari meminta, menjauhkan diri darinya, sekalipun seseorang merendahkan dirinya dalam mencari rizqi dan merasakan kesusahan dalam hal itu. Dan jikalau bukan karena keburukan meminta dalam pandangan syara’, hal itu tidak menjadi pilihannya, karena begitu hinanya meminta-minta, dan termasuk kehinaan itu adalah bila ia tidak diberi…’[16]
Dalam rangka mengajak tawakkal dan berusaha, Imam Ahmad rohimahulloh berkata: Upah mengajar dan ilmu lebih kusukai dari pada duduk menunggu pemberian dari orang lain. Dan ia juga berkata: Barangsiapa yang duduk dan tidak berusaha, jiwanya mendorongnya mengharapkan sesuatu yang ada di tangan manusia.[17]
Zuhud terhadap pemberian manusia menjadikan seseorang dicintai mereka. Dan dalam wasiat ringkas, Rosululloh r bersabda:
…وَأَجْمِعِ الْيَأْسَ عَمَّا فِى أَيْدِي النَّاسِ
Dan berputus asalah dari apa saja yang ada di tangan manusia (jangan mengharapkan pemberian mereka).”[18]
Sebagaimana dalam pesan Jibril u kepada Rosululloh r:
…وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِالَّليْلِ وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ
Dan ketahuilah, sesungguhnya kemuliaan seorang mukmin adalah shalatnya di malam hari dan kehormatannya adalah kayanya dari manusia.”[19]
     Dan apabila kita telah mengetahui kondisi kehidupan Rosululloh r, bersifat qana’ah terasa mudah bagi kita dalam menghadapi realita kehidupan kita. An-Nu’man bin Basyir t mengungkapkan kondisi kehidupan beliau r dengan ucapannya:
لَقَدْ رَأَيْتُ نَبِيَّكُمْ وَمَا يَجِدُ مِنَ الْدَقْلِ مَا يَمْلَأُ بِهِ بَطْنَهُ
Sesungguhnya aku melihat nabimu, dan beliau tidak mendapatkan kurma jelek untuk mengisi perutnya (apabila ada korma yang bagus, pent.).”[20]
Dan beliau berdoa:
اللهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلَ مُحَمَّدٍ قُوْتًا
Ya Allah, jadikan rizqi keluarga Muhammad sebagai makanan pokok.”[21]
    Di antara sebab-sebab qana’ah adalah : bahwa seseorang memandang kepada orang yang berada di bawahnya (lebih miskin darinya dalam urusan dunia), agar ia menyadari nikmat Allah I kepadanya. Sebagaimana di sebutkan dalam hadits:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَتَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَتَزْدِرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
Perhatikanlah kepada orang yang di bawah kamu (dalam urusan dunia) dan janganlah kamu memperhatikan kepada orang yang di atasmu. Maka ia lebih pasti bahwa kamu tidak menghinakan nikmat Allah I kepadamu.”[22]
     Dan pemilik jiwa yang terjaga pasti tidak senang bahwa tangannya berada di bawah, dan Rosululloh r  bersabda:
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَاْليَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ
Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang dibawah, dan tangan yang di atas adalah yang memberi dan yang di bawah adalah yang meminta.”
     Dan seseorang akan lebih bisa menahan diri ketika ia membayangkan gambaran harta sedekah ini : ‘Abdulloh bin al-Arqom t menyebutkan bahwa ia meminta onta dari baitul mal, lalu ditawarkan kepadanya onta sedekah. Maka ia enggan dan mengingkari bahwa hal itu ditawarkan kepadanya, dan ia berkata kepada temannya (yang menawarkan) : “Apakah engkau senang bahwa seseorang yang gemuk di hari panas, mencuci untukmu apa yang ada di bawah sarung dan dua rufghaihi (bagian atas dua paha dari dalam), kemudian ia memberikannya kepadamu, maka kamu meminumnya? Maka laki-laki itu marah dan berkata, ‘Semoga Allah I mengampunimu, apakah engkau mengatakan hal seperti ini kepadaku? Abdulloh bin al-Arqom t  berkata, ‘Sesungguhnya sedekah adalah kotoran manusia, mereka mencucinya dari mereka.”[23]
Dan di antara yang menguatkan sifat qana’ah adalah seseorang mengetahui bahwa meminta adalah kehinaan di dunia, siksaan dan sangat memalukan di akhirat. Dan dalam hal itu, Rosululloh r bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكُثُّرًا, فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا, فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
Barangsiapa yang meminta harta kepada manusia karena ingin menambah, maka sesungguhnya ia meminta bara api, maka hendaklah ia cukup dengan sedikit atau memperbanyak.”[24]
Dan demikian pula:
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيْهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang meminta, sedangkan ia mempunyai sesuatu yang mencukupi (kebutuhan)nya, maka sesungguhnya ia memperbanyak dari api neraka.”[25]
Kenapa orang yang telah diberikan dunia dengan mendapatkan rasa aman, diberi kesehatan, dan memperoleh makan di harinya terus ingin menambah harta??
مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِى سِرْبِهِ, مُعَافًى فِى بَدَنِهِ, عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ, فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Barangsiapa yang di pagi hari merasa aman dalam hidupnya, sehat badannya, dan mempunyai makanan di harinya, maka seolah-olah telah diberikan dunia kepadanya.”[26]
Dan kenapa seseorang merasa berduka cita karena kehilangan sedikit dari dunia, apabila ia merasa tenang bahwa ia termasuk orang-orang yang beruntung:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh beruntung orang yang beragama Islam, diberi rizqi secara cukup, dan Allah I memberikannya sifat qana’ah terhadap apa yang diberikan Allah I kepadanya.”[27]
Apakah gunanya terus menambah harta dan menyimpan, apabila kebutuhan seseorang sangat terbatas dengan keperluan yang tertentu:
وَهَلْ لَكَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَاتَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ أَوْ أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ؟
Tidaklah engkau memiliki hartamu kecuali yang engkau sedekahkan lalu engkau berlalu, atau engkau makan lalu engkau habiskan, atau engkau pakai lalu engkau lusuhkan…?[28]
            Kurangnya sifat qana’ah dalam diri seorang muslim terkadang muncul dari tidak mantapnya pemahaman imannya, berupa ridha terhadap qadar di kala susah dan senang. Karena itulah, termasuk do’a beliau r:
…وَأَسْأَلُكَ نَعِيْمًا لاَيَنْفَدُ وَقُرَّةَ عَيْنٍ لاَتَنْقَطِعُ وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بِالْقَضَاءِ
“…dan aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak pernah pudar, kesejukan mata yang tidak pernah terputus, dan aku memohon kepada-Mu keridhaan terhadap qadha`.”[29]
Dan di dalam do’a istikharah:
وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ
“…dan tentukan (taqdirkanlah) kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaan-Mu kepadaku.”[30]
Dan di antara faktor pendukung ridho adalah berpikir tentang pahala, sebagaimana dalam hadits:
لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَالَكُمْ عِنْدَ اللهِ َلأَحْبَبْتُمْ أَنْ تَزْدَادُوْا فَاقَةً وَحَاجَةً.
Jikalau kamu mengetahui pahala yang disiapkan untukmu di sisi Allah I, niscaya kamu ingin agar bertambah fakir dan membutuhkan.”[31]
Demikian pula sabdanya r:
لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَاادُّخِرَ لَكُمْ مَاحَزِنْتُمْ عَلَى مَازُوِيَ عَنْكُمْ
Jikalau kamu mengetahui pahala yang disimpan untukmu, niscaya kamu tidak berduka cita terhadap kesempitanmu.”[32]
Terkadang seorang fakir adalah orang bersifat qona’ah lagi ‘iffah, sebagaimana orang yang kaya bersifat tamak lagi rakus, karena kaya yang sebenarnya adalah kaya jiwa. Rosululloh r bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرْضِ وَلكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Kaya yang sebenarnya bukanlah kaya harta benda, akan tetapi kaya yang sebenarnya adalah kaya jiwa.”[33]
Dan Rosululloh r menggambarkan kondisi manusia di masa-masa terakhir, maka beliau menyebutkan di antara tanda-tanda hari kiamat:
…وَأَنْ يُعْطَى الرَّجُلُ أَلْفَ دِيْنَارٍ فَيَتَسَخَّطُهَا
…dan seseorang diberikan seribu dinar, maka ia membencinya (tidak ridho).”[34]
Ini adalah gambaran sifat rakus dan tamak yang berat, sebagaimana qana’ah merupakan gambaran syukur dan ridha yang tertinggi:
وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ
Dan jadilah engkau orang yang bersifat qana’ah, niscaya engkau menjadi manusia paling bersyukur.”[35]
Kesimpulan :

  1. Orang yang jatuh kedalam sifat tamak adalah seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang.
  2. Berlomba dalam urusan dunia termasuk mendorong timbulnya sifat tamak.
  3. Sifat qana’ah tidak bisa diperoleh kecuali dengan mujahadah (usaha yang sungguh-sungguh).
  4. Di antara kesempurnaan sifat ‘iffah para sahabat adalah bai’at mereka bahwa mereka tidak akan meminta apapun kepada manusia.
  5. Di antara syarat yang diberikan para ulama dalam meminta adalah:
    1. Tidak mendapatkan kecukupan.
    2. Tidak menghinakan diri.
    3. Tidak terus menerus meminta.
    4. Tidak bersifat rakut.
  6. Yang membantu bersifat qana’ah adalah:
    1. Bekerja untuk mencukupi kehidupan.
    2. Mengikuti keadaan salafus shalih.
    3. Memandang kepada orang yang di bawahnya (dalam perkara dunia).
    4. Membayangkan kehinaan meminta, baik di dunia maupun di akhirat.
  7. Kebutuhan seseorang terbatas, maka tidak ada keharusan bersifat tamak.
  8. Qana’ah menjadi cacat bila iman terhadap qadar tidak mantap.
  9. Yang aneh adalah qana’ah orang fakir dan rakusnya orang kaya.
  10. Qana’ah adalah gambaran syukur dan ridha yang tertinggi.

[1] Shahih al-Bukhari, kitab Zakat, bab ke-50, no. 1472.
[2]  Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi, Kitab Zuhud dan raqa`iq, syarah hadits no. 2963.
[3]  Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab Zuhud, bab ke-30,  no.1935/2495 (Shahih).
[4] Shahih al-Bukhari, kitab al-Jihad, bab ke-70, no. 2887.
[5]  Shahih al-Bukhari, kitab zakat, bab ke-50,  no. 2887.
[6] Fath al-Bari, kitab zakat,  bab ke-50, syarah hadits no. 1472.
[7] Shahih Muslim, kitab al-Jannah (surga), bab ke-16, no.63.
[8]  Shahih Muslim, kitab zakat, bab ke-35, no. 1043 dan diriwayatkan pula oleh Abu Daud.
[9]  Shahih Sunan Ibnu Majah, kitab al-Fitan, bab ke-10,  no. 3197/3958.
[10]  Shahih Sunan Abu Daud, kitab zakat, bab ke-29, no. 1447/1645.
[11]  Fath al-Bari, 3/240, kitab zakat, bab ke-53.
[12]  Shahih Muslim, kitab zakat, bab ke-35, no. 1043.
[13] Syarah Shahih Muslim, kitab zakat, bab ke-35, no. 1043.
[14] Shahih al-Bukhari, kitab zakat bab ke-51, no. 1473.
[15]  Shahih al-Bukhari, kitab zakat, bab ke-50, no. 1470.
[16]  Fath al-Bari 3/336, kitab zakat, bab ke-50, syarah hadits: 1470.
[17]Dikutip dari Fath al-Bari, kitab riqaq, bab ke-16.
[18] Shahih Sunan Ibnu Majah, kitab zuhud, bab ke-1, no.3363/4171 (Hasan).
[19] Shahih al-Jami’ hadits no. 73 (Hasan).
[20] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-26, no. 1932/2491 (Shahih).
[21] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-25, no.1924/2480 (Shahih)
[22] Shahih Muslim, kitab zuhud dan raqa`iq, no. 2963
[23] Al-Muwaththa` 2/1001, kitab sedekah, bab ke-3, no. 15 (al-Arna`uth mengatakan dalam hasyiyah Jami` al-Ushul: 10/150, isnadnya shahih).
[24] Shahih Muslim, kitab zakat, bab ke-35, no. 1041.
[25] Shahih Sunan Abu Daud, kitab zakat, bab ke-24, no. 1435/1629.
[26] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-21, no. 1913/2463 (Hasan).
[27] Shahih Muslim, kitab zakat, bab ke-43, no. 1054.
[28] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-21, no. 1909/2459 (Shahih).
[29]  Shahih Sunan an-Nasa`i, kitab sahwi, bab ke-62, no. 1238.
[30]  Shahih al-Bukhari, kitab tauhid, bab ke-10, no. 7390.
[31]  Shahih al-Jami’, no. 5265 (Shahih).
[32]  Shahih al-Jami’ no. 5261 (Shahih).
[33]  Shahih al-Bukhari, kitab riqaq, bab ke-15, no. 6446.
[34]  Shahih al-Jami’ no. 3607 (Shahih).
[35]  Shahih al-Jami’ no. 4580 (Shahih).
Sumber: http://pentasatriya.wordpress.com/2011/11/04/kemuliaan-sifat-al-qonaah-dan-al-iffah/#more-408
readmore »»  
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Akibat dari Zina Mata

Akibat dari Zina Mata
Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad Al-Qosim hafizhahullah
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Melihat apa yang kita lakukan, baik itu perbuatan yang tidak Nampak oleh orang lain maupun yang Nampak. Tidakkah Anda perhatikan bahwa setelah perintah menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (An-Nur: 30)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu:
“Dia mengetahui pandangan mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Ghaafir: 19) [1]
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan jatah zina untuk setiap anak keturunan Adam, yang mau tak mau maka pasti akan ia dapai. Maka zina mata adalah memandang, zina lisan adalah mengucapkan, kemudian hati berangan-angan dan menginginkan, sedangkan kemaluannya akan membenarkan semua itu atau akan mendustakannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Asy-Syinqiti Rahimahullah berkata, “Yang menjadi bukti pendukung dari hadits ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa zina mata itu adalah dengan memandang. Penggunaan kata ‘zina’ untuk pandangan mata yang tertuju kepada sesuatu yang tidak halal merupakan dalil yang jelas tentang keharaman perbuatan tersebut, dan bahwa ia harus dihindari.
Dan telah diketahui bahwa pandangan mata merupakan sebab perzinaan. Seorang yang seringkali melihat paras cantik seorang wanita misalnya, hatinya akan dikuasai oleh rasa cinta terhadap wanita tersebut yang mana itu akan menjadi sebab kehancurannya. Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan. Jadi pandangan mata adalah pengantar menuju zina.” [2]
Al-Bukhari Rahimahullah berkata: Said bin Abil HAsan berkata kepada Al-Hasan, “Sesungguhnya wanita-wanita ajam [3] biasa mengenakan pakaian yang menyingkap dada dan kepala mereka.” Al-Hasan menjawab, “Palingkan pandanganmu dari mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (An-Nur: 30)
Qatadah Rahimahullah berkata, “Yakni orang-orang yang beriman harus menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang tidak halal.”
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya.” (An-Nur: 30)
Ketika menafsirkan ayat ini, asy-Syinqiti Rahimahullah berkata, “Dan dengannya engkau mengetahui bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dia mengetahui pandangan mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Ghaafir: 19)
Ayat ini mengandung ancaman bagi orang yang berkhianat dengan pandangan matanya, yaitu dengan memandang apa yang tidak halal. Ancaman keras atas perbuatan melihat hal haram yang ditunjukkan oleh dua ayat ini diterangkan secara jelas di dalam sekian banyak hadits.” [4]
Para pakar penyakit qalbu mengatakan bahwa antara mata dan qalbu terdapat jalur penghubung. Manakala pandangan mata sudah rusak dan bobrok, qalbu pun ikut rusak dan bobrok serta menjadi kotak sampah tempat berbagai najis dan kotoran. Ia tidak layak lagi menjadi tempat bersemayamnya ma’rifat tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, kecintaan terhadap-Nya, ketundukan kepada-Nya dan ketentraman serta kegembiraan dengan dekat bersama-Nya. Qalbu seperti ini hanya akan diisi dengan kebalikan dari hal-hal tadi.” [5]
Dan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membonceng Al-Fadhl bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma di belakang beliau ketika haji. Lalu datanglah seorang gadis dari Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutar leher Al-Fadhl agar tak memandang gadis tadi. Al-Abbas Radhiyallahu ‘anhum pun bertanya, “Mengapa engkau memutar leher anak pamanmu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku tak merasa aman bahwa setan tidak akan menggoda mereka berdua.” (HR At-Tirmidzi)
Maksudnya dengan membuat hati salah seorang dari mereka sibuk memikirkan orang yang satunya apabila ia sampai memandangnya.
Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap anak paman beliau, dalam keadaan anak paman beliau itu sedang bersama beliau melakukan ibadah haji. Beliau tidak menganggap bahwa anak pamannya itu akan aman dari fitnah. Dan beliau juga tidak merasa aman bahwa setan tidak akan menyusupkan bisikan dan godaannya.
Suatu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu:
“Wahai Ali, sesungguhnya engkau memiliki harta simpanan di dalam surga, maka janganlah kau ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya, karena sesungguhnya pandangan pertama itu tidak apa-apa sedangkan pandangan berikutnya tidak diperbolehkan.” [6]
Maksudnya, pandangan pertama yaitu pandangan mata secara tiba-tiba tanpa disengaja, diperuntukkan bagimu sebagai hal yang dimaafkan dan tak berdosa. Namun pandangan yang kedua tidak diperbolehkan bagimu, yaitu manakala engkau mengikutkan pandangan pertama dengan pandangan menikmati.
Inilah perkataan yang beliau lontarkan kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu. Padahal beliau mengetahui bagaimana kezuhudan, kewara’an, keiffahan, dan sikap Ali Radhiyallahu ‘anhu menjaga kehormatan pribadinya. Namun beliau tetap mengingatkan Ali Radhiyallahu ‘anhu tentang bahaya pandangan mata, dan menasehatinya agar ia terhindar dari bahaya. Hal ini agar tidak ada orang yang menyangka dirinya akan terhindar dari fitnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tiada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al-A’raaf: 99)
Dari Jarir bin Abdillah al-Bajali Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan mata secara tiba-tiba. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku:
“Palingkan pandanganmu!” (HR Muslim)
Yakni, dari pandangan kedua, karena engkau belum tentu terhindar dari syahwat dan fitnah pada pandangan kedua.
Dan tak disangsikan lagi bahwa menjaga pandangan mata itu lebih berat dari menjaga lisan, karena mata adalah awal mula terjadinya perzinahan sehingga menjaga mata adalah perkara yang sangat penting. Menjaga pandangan mata itu sulit karena kadangkala orang menganggapnya sebagai hal yang remeh, dan biasanya orang tidak begitu takut akan akibatnya. Padahal segala malapetaka bermula darinya.
Pandangan pertama –bila tak disengaja- tidak berdosa. Namun kalau ia diulangi, akan menyebabkan seseorang berdosa.
Mujahid Rahimahullah berkata, “Jika datang seorang wanita, setan duduk di atas kepalanya dan menjadikannya indah di mata orang yang melihat. Dan jika ia berlalu, setan duduk di atas peinggulnya dan emnjadikannya indah di mata orang yang melihat.” [7]
Al-‘Alaa bin Ziyaad Rahimahullah berkata, “Janganlah pandangan matamu mengikuti pakaian seorang wanita, karena pandangan mata akan menanamkan syahwat di dalam qalbu. Jarang sekali mata seseorang terhindar dari memandang wanita dan anak-anak. Bagaimanapun keindahan itu terbayang di dalam benaknya, jiwanya tentu akan ingin melihatnya kembali. Maka ketika itu ia harus berkata kepada dirinya sendiri bahwa perbuatan melihat kembali itu adalah sebuah kebodohan. Karena kalau pandangan kedua itu ia perturutkan, lalu ia melihat suatu keindahan, maka syahwatnya akan bangkit namun ia tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Maka saat itu ia hanya akan mendapatkan penyesalan. Sedangkan kalau ternyata ia melihat paras yang buruk, ia tidak merasakan kenikmatan padahal ia ingin mendapatkan kenikmatan. Dengan begitu, berarti ia melakukan sesuatu yang membuatnya sakit karena kecewa. Jadi, dalam kedua kondisi tersebut, ia tidak terlepas dari maksiat dan sakitnya kekecewaan atau penyesalan. Manakala ia menjaga pandangan matanya dengan cara seperti ini, hatinya akan terhindar dari sekian banyak petaka. Seandainya pandangan matanya melakukan dosa, dan ia tetap menjaga kemaluannya dalam keadaan mampu melampiaskan syahwatnya, maka hal itu membutuhkan kekuatan yang cukup besar dan taufiq dari Allah.” [8]
Di dalam Ash-Shahihain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal darah seorang muslim –untuk dibunuh- melainkan dengan salah satu dari tiga sebab. Seorang yang telah menikah lalu melakukan zina, seorang yang membunuh orang lain, seorang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin.”
Hadits yang mengaitkan perbuatan zina dengan kekufuran dan pembunuhan ini semakna dengan salah satu ayat dalam surat Al-furqan, dan dengan hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan hal yang paling sering terjadi, lalu hal yang paling sering terjadi berikutnya. Perzinaan lebih sering terjadi daripada kemurtadan. Setelah menyebutkan perkara yang paling besar keburukannya, kemudian beliau menyebutkan perkara yang lebih besar lagi keburukannya.
Dampak buruk perzinaan akan mencoreng nama baik banyak pihak. Karena kalau seorang wanita berzina, berarti ia membuat keluarga, suami dan kerabatnya terhina. Ia membuat malu mereka di hadapan orang banyak. Dan kalau ia hamil mungkin ia akan mengaborsi anaknya sehingga selain melakukan dosa perzinaan, ia juga melakukan dosa pembunuhan. Kalau anak hasil zina itu ia bebankan kepada suaminya, berarti ia telah memasukkan ke dalam keluarganya dan keluarga suaminya seorang pribadi asing yang bukan bagian dari mereka. Sehingga anak itu nantinya akan mendapatkan warisan mereka, padahal ia bukan keturunan mereka. Ia juga akan dapat memandang dan berkhalwat dengan mereka, serta merusak nasab keturunan kepada mereka padahal ia buka ndari mereka. Dan masih banyak lagi kerusakan lainnya yang diakibatkan oleh perzinaan.
Sedangkan perbuatan zina seorang laki-laki juga akan mengakibatkan percampuran ansab keturunan, menodai seorang wanita terhormat, dan bisa jadi akan mengakibatkan hancur dan frustasi. Dalam perbuatan dosa besar ini juga terkandung kerusakan dunia dan agama. Kubur di alam barzakh dan neraka di akhirat nanti akan semarak dengan siksaan terhadap mereka yang melakukannya (sesuai yang Allah kehendaki –pent).
Berapa banyak kerusakan yang terdapat di dalam perbuatan zina, seperti pelanggaran atas perkara yang diharamkan, tidak terpenuhinya hak-hak yang seharusnya ditunaikan, dan terjadinya kezaliman!
Di antara dampak buruk zina adalah bahwa ia akan membuat seseorang jatuh miskin, memperpendek usia, membuat wajah pelakunya suram, dan dibenci oleh orang lain.
Di antara dampak buruk zina yang lain adalah bahwa ia akan membuat hati gelisah tak menentu. Kalaupun tidak sampai membuat hati mati, zina akan menjadikannya sakit, sedih dan takut. Zina juga akan membuat pelakunya jauh dari malaikat dan dekat dengan setan.
Setelah kejahatan pembunuhan, tidak ada yang lebih besar dari kerusakan perzinaan. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan zina dapat dikenakan hukuman dengan cara yang paling mengerikan dan paling sulit (yaitu rajam –pent). Kalau seseorang mendengar bahwa istrinya atau wanita lain yang menjadi mahramnya dibunuh, maka itu akan lebih ringan baginya daripada kalau ia mendengar bahwa istrinya atau mahramnya berzina.
Sa’d bin ‘Ubadah Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalau saja aku melihat seorang laki-laki sedang bersama istriku, maka laki-laki itu akan aku tebas dengan pedang tajamku.” Lalu hal itu pun sampai di telinga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata:
“Kalian heran dengan kecumburuan Sa’d? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih cemburu dari Sa’d. dan Allah lebih cemburu dariku. Karena kecemburuan Allah itulah maka Allah mengharamkan segala perbuatan keji baik yang lahir maupun yang batin.” (Muttafqun ‘Alaih)
(Disadur dari Sahmu Ibliis wa Qawsuhu)

Catatan kaki:
[1] Ahkaam An-Nazhr karya Ibnul Qayyim Rahimahullah hal. 9
[2] Adhwaa’u Al Bayan (6/91)
[3] Wanita yang bukan dari bangsa Arab (pent.)
[4] Adhwaa’u al-Bayan (6/91)
[5] Tazkiah An-Nufuus hal. 38
[6] Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibu Hibban, namun telah lalu takhrij hadits tersebut tanpa penambahan lafzh “Inna Laka Kanzan fil jannah” wallahu a’lam
[7] Al-Jaami’ li Ahkaami Al-Qur’an (12/227)
[8] Al-Ihyaa’: 3/114
Sumber: Majalah Akhwat Vol. 18/1433H/2012 hal 16 sd 20 dan 68
readmore »»  
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Hubungan Haram Berselubung Cinta

 
Dunia telah menawarkan gemerlap perhiasannya.
Di sana ada sisi-sisi kehidupan yang mengancam kehormatan kaum wanita
Tak layak kita lalai menelaah ancaman itu melalui untaian nasihat
untuk mengingatkan setiap wanita muslimah yang menginginkan keselamatan
Saudariku muslimah!!
Hendaknya engkau waspada akan bahaya hubungan yang haram dan segala yang berselubung cinta”
namun menyembunyikan sesuatu yang nista.
Engkau pun hendaknya berhati-hati terhadap pergaulan bebas dengan para pemuda ataupun
laki-laki tak bermoral yang ingin merampas kehormatanmu di balik kedok “cinta”.
readmore »»  
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Jangan Futur Yaa Ukhti…!!

Mungkin ada di antara kita yang mengalami hal ini…
Ketika  masih mondok atau kuliah yang disana banyak majelis taklim dan teman2 yang sholihah.. kita bersemangat melakukan ketaatan dan beribadah…
Tapi ketika kita telah lulus dan harus kembali ke rumah berkumpul dengan keluarga kita… dan tinggal di lingkungan yang mayoritas orang2nya masih awam terhadap sunnah… jauh dari teman2 yang sholihah dan majelis taklim… sedikit demi sedikit kita menjadi futur…
Sedikit demi sedikit kita mulai terpengaruh dengan lingkungan di sekitar kita yang nyaris tak pernah bebas dari musik, TV dan pergaulan yg tak mengenal adab syariah…lalu kita menjadi malas beribadah…
Sedikit demi sedikit kita mulai meninggalkan amalan2 ma’ruf yang dulu sering kita lakukan.. seperti sholat sunnah, puasa sunnah,  membaca al-Qur’an, dll… hapalan Qur’an pun mulai hilang satu per satu…
Dan sedikit demi sedikit pula hal-hal yang dulunya kita anggap buruk, sekarang seolah-olah menjadi hal yang biasa… seperti nonton sinetron, gambar2 makhluk bernyawa… jilbab pun tanpa terasa semakin mengecil ngga karuan… na’udzubillahi min dzalik..
Berikut ini ana bawakan nasehat syaikh Sholeh al-Fauzan dan sebuah tulisan yang bagus yang semoga dengan membacanya di bawah ini bisa memberi semangat bagi kita untuk kembali…
Semoga bermanfaat…!

Oleh: Syaikh Sholeh bin Fauzan al-Fauzan hafidzohulloh
Pertanyaan:
Wahai Syaikh, aku dahulu adalah orang yang sering berpuasa, sholat malam dan bersemangat terhadap kebaikan, serta menjaga sebagian ibadah sunnah atau sunnah-sunnah rawatib. Dan kini, yang pertama-tama kutinggalkan adalah puasa sehingga aku tidak pernah berpuasa (sunnah) lagi, kemudian sholat malam sehingga aku tidak pernah lagi sholat malam, kemudian yang lain sedikit demi sedikit, begitu pula dengan sunnah-sunnah rawatib. Mohonkan kepada Alloh agar aku diberi hidayah, jazakallohu khoiron. Dan jangan sampai majelis yang diberkahi ini menjadi seperti saya.
Jawaban:
Kami memohon kepada Alloh azza wa jalla agar memberimu taufiq untuk dapat melakukan amal sholeh, mengerjakan lagi sholat malam, puasa sunnah. Dan hendaknya engkau memiliki tekad yang jujur. Jangan biarkan dirimu bermalas-malasan, terpengaruh (yang buruk) dan loyo. Seseorang jika telah membiasakan mengerjakan suatu amal sholeh, hendaknya ia lanjutkan walaupun sedikit, karena yang sedikit tapi berkelanjutan memiliki kebaikan yang banyak.
Maka hendaknya engkau mengerjakan kembali amal-amal sholeh ini dan tidak menyerah pada kemalasan atau pengaruh-pengaruh lainnya. Jika engkau tinggal bersama orang-orang yang membuatmu tidak bersemangat atau engkau terpengaruh mereka, maka hendaknya engkau menjauhi mereka dan berkumpullah dengan orang-orang yang baik dan duduk dengan orang-orang yang akan mengenalkanmu kepada Alloh azza wa jalla karena dengan berkumpul bersama mereka akan menambah ma’rifat-mu kepada Alloh.
***
Diterjemahkan dari: http://www.mktaba.org/vb/showthread.php?t=17292, download rekaman fatwa di link ini.
***
السؤال فضيلة الشيخ،زاده الله من فضله-
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته، أشهد الله أني أحبك في الله، سؤالي هو :
يا شيخ كنت ممن يصوم ويقوم شيئا من الليل وحريص على الخير، ومحافظ على بعض السنن أو على السنن الرواتب، وأول ما فقدت الصيام؛ فأصبحت لا أصوم، ثم القيام فأصبحت لا أقوم ، ثم شيئا فشيئا، وهكذا الرواتب، ادع الله لي بالهداية جزاك الله خيرا، وحذر هذا التجمع المبارك أن يكونوا مثلي ؟
عضو اللجنة الدائمة للإفتاء د. صالح بن فوزان الفوزان -حفظه الله- :
الجواب: نسأل الله عز وجل أن يوفقك للعمل الصالح، ومواصلة قيام الليل
وصيام التطوع، وعليك بالعزيمة الصادقة، ولا تسلم
نفسك للكسل، أو التأثيرات والمثبطات؛ فإن الإنسان
إذا اعتاد عملا صالحا ينبغي أن يستمر عليه ولو قل، ولو كان قليلا، القليل مع المداومة عليه فيه خيرا كثير؛ فعليك بالمواصلة
لهذا العمل الصالح، وعدم الاستسلام للكسل، أو المؤثرات، وإذا
كنت تعيش مع أناس يثبطونك، أو تتأثر بهم؛ فعليك بالابتعاد عنهم، وملازمة أهل الخير، ومجالسة من يعرفونك بالله عز وجل، من مجالستهم تزيدك بالله معرفة .
للاستماع للفتوى
_______________________________________

al-Haur Ba’da al-Kaur

oleh: Abu Abdirrahman Ibrahim bin Abdullah al-Mazaru’i
Sesungguhnya fenomena berpaling dari komitmen pada agama ini sungguh telah menyebar di kalangan kaum muslimin. Berapa banyak manusia mengeluh akan kerasnya hati setelah sebelumnya tentram dengan berdzikir pada Allah, dan taat kepada-Nya. Dan berapa banyak dari orang-orang yang dulu beriltizam (komitmen pada agama) berkata, “(Kini)Tidak aku temukan (lagi) lezatnya ibadah sebagaimana dulu aku merasakannya”, yang lain bekata, “Bacaan al-qur’an tidak membekas dalam jiwaku”, dan yang lain juga berkata, “Aku jatuh ke dalam kemaksiatan dengan mudah”, padahal dulu ia takut berbuat maksiat.
Dampak penyakit ini nampak pada mereka, diantara ciri-cirinya adalah :
Pertama
Mudah terjatuh dan terjerumus dalam kemaksiatan dan hal-hal yang diharamkan (Allah), bahkan dia terus melakukannya padahal dahulu dia sangat takut terjerumus kedalamnya.
Kedua
Merasakan kerasnya hati, nasehat tentang kematian tidak berbekas sama sekali dalam hatinya, demikian juga melihat jenazah dan kuburan.
Ketiga
Tidak mantap dalam beribadah, sehingga anda (akan mendapati orang seperti ini) tidak menemukan “kelezatan” dalam menunaikan sholat, membaca al-Qur’an, dan lainnya, serta malas (melakukan) ketaatan dan ibadah, bahkan mengabaikannya dengan mudah, padahal ia dulu giat serta bersemangat melakukannya.
Keempat
Lalai dari berdzikir kepada Allah, serta tidak menjaga lagi dzikir-dzikir syar’iyah (seperti dzikir pagi dan petang, pent) padahal dulu ia giat dan bersemangat melakukannya.
Kelima
Memandang rendah kebaikan dan tidak perhatian kepada amal kebajikan yang mudah dilakukan padahal dulu dia orang yang paling teguh dan rajin.
Keenam
Selalu dibayangi oleh rasa takut pada waktu tertimpa musibah atau problematika, padahal dulu ia tegar serta teguh imannya kepada takdir Allah.
Ketujuh
Hatinya cenderung kepada dunia dan sangat mencintainya hingga ia akan merasa sangat sedih sekali jika ada sesuatu dalam kehidupan dunia ini yang luput darinya, padahal dulu ia sangat terikat kepada akhirat dan kepada kenikmatan yang ada di dalamnya. Allah Ta’ala telah berfirman :
“Tetapi kalian memilih kehidupan dunia, sedang kehidupan akherat adalah lebih baik dan lebih kekal.” ( al-A?la : 16-17 )
Kedelapan
Terlalu berlebihan dalam memperhatikan kehidupan dunianya baik dalam masalah makan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kendaraan, padahal dulu ia lebih mengutamakan untuk mempercantik akhlaqnya dan untuk komitmen serta berpegang teguh pada agama.
Masih banyak lagi sebenarnya dampak penyakit ini.
Dan sungguh Nabi Sholallahu’alaihi wasalam telah berlindung dari al-Haur ba’da al Kaur.
Dari ‘Abdullah bin Sarjas Radhiyallohu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Sholallahu’alaihi wasalam jika bepergian berlindung dari kesukaran perjalanan, kesedihan saat kembali dan dari al-Haur ba’da al Kaur (lemah/malas dalam beribadah setelah dulunya semangat/rajin).
Dalam riwayat at-Tirmidzi :”… dan dari al haur ba’da al kaur..”.
Berkata Imam Nawawi: “Kedua hadits ini adalah hadits yang disebutkan oleh para ahli hadist, ahli bahasa dan ahli gharibul hadits/lafadh asing dalam hadits.” (Syarh Muslim 9/119)
***
Lalu Apakah Makna al-Haur Ba’da al-Kaur?
Ibnul Faris berkata :“al-Haur” artinya adalah : kembali, Allah berfirman : “Sesungguhnya ia menyangka bahwa ia sekali-kali tidak akan kembali, tetapi tidak…” (al-Insyqaaq : 14).
Orang Arab berkata : Maknanya kebatilan itu kembali dan berkurang. Jika dikatakan :”Kami berlindung kepada Allah dari al haur.
Makna al-Haur adalah berkurang setelah bertambah. (Mu’jamu Maqayis al-Lughah 2/117).
Ibnu Mandzur menjelaskan dalam “Lisanul ‘Arob” (4/217), ia berkata : “Dan dalam hadits : “Kami berlindung kepada Allah dari al Haur setelah al Kaur” Maknanya adalah dari berkurang setelah bertambah, atau dari kerusakan urusan kami setelah kebaikan.
At-Tirmidzi menafsirkan dengan perkataannya : “Dan makna perkataannya : al-Haur ba’da al-Kaun atau al-Kaur, kedua kata itu (al-Kaun dan al-Kaur) mempunyai satu arti, yaitu kembali/berpaling dari keimanan menuju kekafiran, dari ketaatan menuju kemaksiatan.?” (Sunan at-Tirmidzi 498/5)

Kalau begitu, makna al Haur ba’da al Kaur adalah:
Perubahan keadaan manusia dari iman kepada kekafiran, atau dari takwa dan kebaikan kepada perbuatan rusak dan buruk, atau dari hidayah kepada kesesatan. Dan dalam hal ini manusia berbeda-beda tingkatannya, maka jika seseorang mundur/berpaling ke belakang dikhawatirkan ia menutup akhir kehidupannya dengan hal yang buruk.
Dan satu hal yang telah diketahui bahwa amal-amal (seseorang) dilihat pada akhir kehidupannya, dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi Sholallahu’alaihi wasalam bersabda :
“Sesungguhnya seorang laki-laki dulunya beramal dengan amal penghuni neraka, dan sesungguhnya ia adalah penghuni surga, dan ia dulu mengerjakan amalan penghuni surga, padahal ia adalah penghuni neraka, sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada akhirnya.“(HR. al-Bukhari 6607)
Dari Abu Hurairah Radhiyallohu ‘anhu bahwa Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa alihi wa salam berkata :
“Sesungguhnya ada seseorang yang dia beramal dengan amalan penghuni surga dalam jangka waktu yang lama tapi diakhir hayatnya dia melakukan perbuatan penghuni neraka dan ada juga orang yang dahulunya berbuat perbuatan penghuni neraka tapi dia akhiri hidupnya dengan perbuatan penghuni surga.” (HR. Muslim 2651 dan Ahmad).
Nash-nash hadits diatas dan selainnya menerangkan kepada kita bahwa yang paling menentukan amal seseorang itu bukan dari apa yang dilakukannya semasa hidupnya tetapi dalam keadaan bagaimana ia mengakhiri hidupnya. Oleh karena itu pembahasan masalah ini sangat penting sekali, jangan sampai ada seseorang diantara kita yang mengira ia telah sukses melalui jembatan dan sampai di daratannya dengan aman disebabkan komitmennya terhadap agama, serta selamat dari kesesatan dan dari al Haur ba’dal Kaur.
Keteguhan/kekokohan hanya dari Allah semata. Allah menguatkan/meneguhkan Nabi Sholallahu’alaihi wasalam-Nya, Dia berfirman :
“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (al-Isra’ : 74)
Oleh karena itu Rasulullah Sholallahu’alaihi wasalam mengajarkan kepada kita agar kita memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala agar Dia mengokohkan kita diatas agama Islam, beliau Sholallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Wahai yang meneguhkan hati, teguhkanlah hati kami diatas agama-Mu”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dan sering kali beliau Sholallahu’alaihi wasalam berkata tatkala bersumpah : “Tidak, demi Dzat Yang Membolak-balikkan hati.” (HR al-Bukhari 7391)
Diantara doa Nabi Sholallahu’alaihi wasalam :
“Wahai yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk taat kepadamu.”(HR Muslim 2654).
Seorang yang beriman harus berusaha memeriksa hatinya dan mengetahui penyakit serta penyebab sakit hatinya, dan berusaha untuk mengobatinya sebelum hatinya menjadi keras dan akhir hidupnya menjadi jelek.
***
Maka Apa Penyebab al-Haur Ba’dal Kaur ? Apa Obatnya ?
Sebab-sebab al-Haur ba’dal Kaur adalah :
1. Lemah Iman.
Lemah iman adalah penyebab kerasnya hati, mudah jatuh dalam kemaksiatan dan malas dari ketaatan, tidak mendapatkan pengaruh dari (membaca) al-Qur’an dan shalat. Lemah iman juga mengurangi rasa takut dia kepada Allah Ta’ala. Lemah iman juga penyebab banyaknya terlibat debat dan berbantah-bantahan, tidak adanya perasaan merasa bertanggung jawab kepada Allah Ta’ala dan beberapa fenomena lainnya.
Hal ini juga disebabkan sikap menjauh dari teman yang shalih serta majelis ilmu, dan tersibukkan dengan urusan-urusan dunia serta panjang angan-angan, dan terjerumus dalam hal-hal yang di haramkan. Maka apabila iman seseorang lemah, maka berubahlah keadaannya, dari hal yang baik dan istiqamah menjadi tersesat dan berpaling. Maka suatu keharusan (bagi seorang muslim yang merasakan lemahnya iman) untuk mengobatinya.
Caranya adalah dengan ikhlas (kepada Allah) dan membaca serta merenungkan al-Qur’an kemudian takut kepada (siksaan) Allah Ta’ala dan bertaubat dari dosa, kemaksiatan, takut terhadap akhir kesudahan yang buruk serta mengingat mati dan akhirat.

2. Jauh Dari Suasana Yang Penuh Dengan Keimanan
Seperti majelis ilmu, masjid, al-Qur’an, teman yang shalih, shalat malam, dzikir dan lainnya. Jauh dari suasana yang penuh keimanan ini akibatnya adalah berbalik ke belakang (kembali kepada kemaksiatan). Maka apabila seseorang jauh dari temannya yang shalih dalam waktu yang lama lantaran bepergian jauh atau suatu tugas atau semisalnya ia akan kehilangan suasana yang penuh keimanan yang mengakibatkan lemahnya iman dan tidak iltizam lagi, apabila ia tidak segera memperbaiki jiwanya.
Berkata al-Hasan al-Basri : “Teman-teman kita lebih mahal (nilainya) dibanding dengan keluarga kita, (hal ini disebabkan) karena keluarga kita hanya mengingatkan kita kepada dunia, sedangkan teman-teman kita mengingatkan kita kepada akhirat”.
Maka selayaknya seorang muslim menjaga komitmennya terhadap agama dengan cara bersungguh-sungguh dan berusaha menjumpai lingkungan yang penuh keimanan.

3. Pengaruh Lingkungan (Yang Jelek)
Jika seorang yang beriltizam berada di tengah lingkungan yang jelek, yaitu ia hidup bercampur dengan manusia yang bangga dengan kemaksiatan yang dilakukannya dan asyik berdendang dengan lagu-lagu & nyanyian, merokok, membaca majalah (porno), lidahnya menggunjing & mencela orang yang beriman, dan apabila ia menghadiri suatu majlis undangan atau acara pernikahan (dikalangan mereka), didapatinya kemungkaran, pembicaraan-pembicaraan mengenai perdagangan, jabatan, harta serta masalah-masalah dunia yang mengakibatkan terjatuhnya hati dalam cinta yang mendalam pada dunia, jika demikian keadaannya maka hati berubah menjadi keras, dan akhirnya berbalik dari komitmen terhadap agama dan kebaikan kepada cinta dunia dan kemaksiatan.
Dan apabila ia diuji dengan harta, dengan istri yang lemah imannya atau anak-anak yang sama dengan ibunya dia tidak mampu teguh bahkan mundur dan meninggalkan kebaikan dan keistiqomahan. Jika dia berkumpul dengan keluarga, tetangga dan teman-temannya yang jelek, mendengar kata-kata yang menyakitkan, ejekan, dan mendapatkan nasehat-nasehat yang menghalanginya untuk beriltizam, maka akibatnya ia mundur dari beriltizam dan berbalik hingga merugi di dunia dan di akhirat.

4. Lemah Dalam Pendidikan Yang Benar (Sesuai Agama)
Jika seorang muslim tidak menjaga dirinya dengan pemeliharaan, pendidikan dan perjuangan, ia akan mundur dan berbalik. Maka ia harus meluangkan waktunya sesaat untuk bertaqarrub/ mendekatkan diri kepada Allah, menginstropeksi dirinya, mohon ampun dan bertaubat. Dan ia harus meluangkan waktu untuk mendapatkan ilmu agama, mempelajarinya, membacanya dan mengulangi pelajarannya. Dan ia harus meluangkan waktunya sesaat untuk berdakwah, sesaat untuk berdzikir dan membaca al-Qur’an, hingga ia dapat menjaga amalannya itu.

5. Memandang Remeh Dosa-Dosa Dan Perbuatan Maksiat
Abdullah bin Mubarak Rahimahulloh berkata :
“Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati, Mengerjakannya terus-menerus menimbulkan kehinaan Adapun meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati.Dan mendurhakai dosa adalah baik bagi jiwamu”
Ibnul Qayyim Rahimahulloh berkata :
“Sesungguhnya diantara dampak negatif dosa adalah melemahkan perjalanan hati (seseorang) menuju negeri akhirat atau menghalanginya atau memutuskannya dari perjalanan itu. Dan kadang kala dosa juga bisa memutar balikkannya ke arah belakang (maksiat dan kekufuran). Hati itu akan berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, jika hati itu sakit lantaran dosa-dosa lemahlah kekuatan yang menjalankannya”. (al-Jawabul Kahfi hal 140).
Meremehkan dosa-dosa akan berdampak buruk bagi seseorang, diantaranya menyebabkan bertambahnya dosa, menjauhkan seseorang dari jalan taubat, dan mengajak untuk tidak menjauh dari pelaku dosa. Lalu ia akan asyik bersahabat dan duduk bersama mereka (para pelaku dosa dan maksiat). Bahkan dosa-dosa tersebut mengajaknya untuk menjauh dari orang shalih dan bertaqwa. Dan ini adalah penyebab utama seseorang tidak istiqomah di atas jalan yang lurus.

6. Tertipu Dan Kagum Terhadap Diri Sendiri
Tidak diragukan lagi bahwa menghadiri majelis ilmu dan berteman dengan orang shalih menunjukkan bahwa pada diri orang tersebut terdapat kebaikan, akan tetapi jika telah masuk perasaan tertipu dan bangga terhadap diri sendiri maka hal ini akan memberi pengaruh jelek terhadap pelakunya. Jika sudah demikian, ia akan merasa telah sempurna dan tidak merasa butuh berbuat kebaikan dan beramal shalih lagi. Dan jika seseorang telah kagum terhadap dirinya sendiri maka akan hilang dari dirinya perasaan takut terhadap akhir kesudahan yang jelek dan ia akan merasa aman terhadap kesesatan setelah mendapatkan petunjuk. Hal ini merupakan tanda lemahnya hati dan penyebab seseorang itu mundur kebelakang tidak istiqamah lagi.
Jika seseorang kagum terhadap dirinya ia akan tersibukkan dengan mencari aib-aib orang lain dan menyepelekan untuk memperbaiki aib dalam dirinya. Maka seseorang harus mengobati jiwanya dengan membuang rasa bangga terhadap diri sendiri kemudian bersikap tawadhu’, takut serta memperbaiki aibnya dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.

7. Berteman Dengan Orang-Orang Jahat
Seorang teman mempunyai peranan penting dalam membentuk serta mempengaruhi kepribadian sahabatnya. Jika seorang teman melihat film-film dan majalah-majalah yang memberikan mudharat/bahaya (bagi agamanya), mendengarkan lagu-lagu dan musik, maka ia akan mempengaruhi sahabatnya. Dan terkadang hal-hal yang dilakukan temannya menyelisihi syariat agama tapi ia berbasa-basi dan tidak mengingkarinya, terkadang ia melihat temannya tidak taat beribadah dan meninggalkan sunnah-sunnah Nabi Sholallahu’alaihi wasalam, maka ia pun terpengaruh dan meninggalkan keistiqamahannya. Oleh karena itu seseorang harus memilih teman yang shalih yang membantunya untuk taat kepada Allah, dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa : “Seseorang itu mengikuti agama temannya, maka hendaknya seseorang melihat siapa temannya”.

8. Ada sebab-sebab lainnya yang menyebabkan seseorang meninggalkan keistiqomahan, di antaranya:
  1. Lemahnya kesungguhan dalam berpegang teguh (terhadap agama) dan tidak sabar atas kesulitan-kesulitan dan musibah yang menimpanya.
  2. Panjang angan-angan, berlebih-lebihan dalam menerapkan hukum agama terhadap dirinya diluar batas kemampuan (ekstrim).
  3. Penyakit-penyakit hati dan lisan yang menimpanya.
  4. Kepribadian yang lemah dan sikap selalu mengekor kepada orang lain.
  5. Kegagalan-kegagalan yang menimpa pada masa lalu dan dia sulit keluar darinya.
Lalu Bagaimana Cara Penyembuhannya?
Disaat kita menyebutkan hal-hal yang menyebabkan ketidak istiqamahan, kita juga menemukan cara-cara untuk mengobatinya:
  1. Lemah iman obatnya adalah menguatkan keimanan.
  2. Penyakit menjauhi dari lingkungan yang penuh dengan suasana keimanan obatnya adalah mencari dan menjaga serta meningkatkan lingkungan yang penuh dengan suasana keimanan.
  3. Penyakit yang disebabkab oleh lingkungan (yang jelek) obatnya adalah sabar serta menambah keistiqamahan dan bersandar kepada Allah.
  4. Lemah dalam pendidikan yang benar obatnya adalah bersungguh-sungguh dalam mencari pendidikan yang benar sesuai dengan agama dan mengatur waktu serta bersungguh-sungguh memperbaiki jiwa.
  5. Dosa-dosa dan maksiat obatnya adalah taubat dan mohon ampun dan tidak meremehkan dosa-dosa tersebut.
  6. Adapun penyakit hati dan lisan yang mengakibatkan perbuatan jelek maka obatnya adalah membebaskan diri darinya dan dengan bertaubat yang benar.
  7. Adapun teman yang jelek maka obatnya adalah memilih teman yang baik dan shalih.
Adapula Cara Lainnya Untuk Mengobati Sikap Tidak Istiqamah, yaitu:
1. Ikhlas dan jujur kepada Allah
Hal ini adalah sebab terpenting untuk istiqamah dan menjadi baik. Ibnul Qayyim berkata :
“Sesungguhnya yang mendapatkan kesulitan dalam meninggalkan maksiat yang disukainya dan yang sering dilakukannya adalah seseorang yang meninggalkannya bukan karena Allah. Adapun seseorang yang meninggalkan hal tersebut dengan jujur, ikhlas dari hatinya karena Allah, ia hanya merasakan kesulitan di awal kali ia meninggalkannya. Ini semua untuk mengujinya, apakah ia jujur dalam meninggalkannya ataukah hanya berdusta, jika ia sabar dalam menghadapi kesulitan ini sebentar saja, ia akan memperoleh kelezatannya”. (Al-Fawaid : 99)
2. Takut kepada akhir kesudahan/kematian yang jelek (su’ul khatimah)
Seorang yang beriman dan jujur harus takut dari akhir kesudahan yang buruk, dan waspada dari penyebabnya.
Allah Ta’ala berfirman :
“(Ya Allah) wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang salih”.(Yusuf : 101).
Suatu malam Sufyan ats-Tsauri rohimahulloh menangis hingga subuh, tatkala ia ditanya, ia menjawab :
“Sesungguhnya aku menangis karena takut su’ul khatimah/ mati dalam keadaan beramal buruk”.(Kitabul aqibah, karya Abdul Haq al-Isbaili 178).
Al-Imam al-Barbahari rohimahulloh berkata :
“Dan ketahuilah, bahwa sepatutnya seseorang ditemani perasaan takut selamanya, karena ia tidak mengetahui mati dalam keadaan bagaimana, dengan amalan apa ia mengakhiri hidupnya, dan bagaimana ia bertemu Allah nantinya sekalipun ia telah mengamalkan segala amal kebaikan.” (Syarhu Sunnah 39).
Rasa takut dari akhir kesudahan yang buruk memiliki banyak dampak positif. Perasaan ini akan mendorong seseorang untuk berserah diri kepada Allah Ta’ala serta menghadap kepada-Nya dengan selalu berdoa kepada-Nya. Perasaan takut ini akan mengajaknya untuk bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan menambah sikap istiqamah dan kebaikan, dan takut dari berbalik mundur kebelakang.

3. Berdoa kepada Allah agar melindungi kita dari “al-haur badal kaur”.
Nabi Sholallahu’alaihi wasalam berdo’a :
“Dan kami berlindung dari al-haur badal kaur” (HR Ahmad dan Muslim 1343, Tirmidzi, Nasai dan lainnya).
Nabi Sholallahu’alaihi wasalam juga banyak berdoa :
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati kokohkanlah hatiku diatas agama-Mu”(HR Tirmidzi)
Kita juga diperintah untuk memohon kepada Alloh Ta’ala agar Dia memperbaharui keimanan dalam hati kita, Rasulullah Sholallahu’alaihi wasalam bersabda :
“Sesungguhnya iman dapat menjadi usang dalam rongga (hati) kalian, sebagaimana baju dapat menjadi usang, maka mintalah kepada Allah agar Dia memperbaharui keimanan dalam hati kalian”.(HR Hakim, terdapat juga dalam as-silsilah as-Shahihah karya al-Albani no 1585).
Maka hendaknya kita memperbanyak berdoa kepada Allah.

4. Kontinyu dalam beramal shalih dan memperbanyak amal shalih.
Sesungguhnya amal shalih yang dilakukan secara kontinyu oleh seseorang adalah lebih disukai oleh Allah, sebagaimana sabda Nabi Sholallohu ‘alaihi wa alihi wa salam :
“Amal yang paling disukai Allah adalah yang kontinyu walaupun sedikit ….” (Muttafaqun alaihi).
Jika seorang muslim kontinyu dalam beramal shalih sesungguhnya ia akan hidup dalam kebaikan dan keistiqamahan, jika ia lemah dan tertimpa rasa putus asa, maka amal-amal kebaikan yang ia lakukan secara kontinyu ini akan menjadi tiang penyangga untuk istiqamah, mengembalikan jiwa (yang putus asa), dan menguasai jiwanya. Maka sepatutnya bagi seorang muslim untuk memperhatikan dalam mengerjakan amal-amal shalih beberapa perkara ini :
  1. Bersegera dan berlomba-lomba dalam beramal shalih, Allah berfirman : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga …” (Ali Imran : 133)
  2. Dan terus beramal shalih serta menjaganya : “Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku (Allah) dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya…” (HR Bukhari 6137)
  3. Lalu bersungguh-sungguh dalam beramal shalih dan memperbanyaknya kemudian bervariasi dalam beramal shalih supaya tidak membosankan jiwanya.
  4. Ibnu Mas’ud berkata : “Dahulu Nabi Sholallahu’alaihi wasalam tidak terus menerus dalam memberi nasehat lantaran khawatir kejenuhan menimpa kami”. (Bukhari 68). Maka seorang muslim harus mengambil bagian untuk duduk dalam majelis ilmu yang memberikannya nasehat, dan dibacakan kepadanya kitab-kitab tentang hal itu.
  5. Ada juga cara lain untuk mengobati fenomena ketidak istiqamahan ini, di antaranya : Berdzikir kepada Allah, merenungkan kehinaan dunia, mengoreksi diri, beramal dan aktif berdakwah.
Akhirnya segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Kita berlindung kepada Allah dari al-Haur ba’dal Kaur. “Ya Allah (yang membolak-balikkan hati). Tetapkanlah hati-hati kami untuk selalu ta’at kepada-Mu. Dan wafatkanlah kami dalam keadaan Husnul Khotimah.”
Sumber : majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 14, hal. 28-34
readmore »»  
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Manisnya Sifat Qona’ah

Oleh: al-Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni hafidzohulloh
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya.”[1].
Hadits yang mulia menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat qanaa’ah[2], karena dengan itu semua dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit[3].
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Arti qanaa’ah adalah merasa ridha dan cukup dengan pembagian rezeki yang Allah Ta’ala berikan[4].
- Sifat qana’ah adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah, termasuk dalam hal pembagian rezeki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya, serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.”[5].
Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[6].
- Yang dimaksud dengan rezeki dalam hadits ini adalah rezeki yang diperoleh dengan usaha yang halal, karena itulah yang dipuji dalam Islam[7].
- Arti sabda beliau, “…yang secukupnya” adalah yang sekadar memenuhi kebutuhan, serta tidak lebih dan tidak kurang[8], inilah kadar riekei yang diminta oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah untuk keluarga beliau , sebagaimana dalam doa beliau, “Ya Allah, jadikanlah rezeki (yang Engkau limpahkan untuk) keluarga (Nabi) Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam) Quutan.”[9]. Artinya: yang sekadar bisa memenuhi kebutuhan hidup/ seadanya[10].
- Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati).”[11].
- Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Ridhahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu, maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan).”[12].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Jumadal ula 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.manisnyaiman.com

[1] Hadits shahih riwayat Muslim (no. 1054).
[2] Lihat kitab Syarhu Shahiihi Muslim tulisan imam an-Nawawi (7/145).
[3] Lihat kitab Faidhul Qadiir (4/508).
[4] Ibid.
[5] Hadits shahih riwayat Muslim (no. 34).
[6] Lihat kitab Fiqhul Asma-il Husna (hal. 81).
[7] Lihat kitab Faidhul Qadiir (4/508).
[8] Lihat kitab Syarhu Shahiihi Muslim (7/145) dan Faidhul Qadiir (4/508).
[9] Hadits shahihi riwayat al-Bukhari (no. 6095) dan Muslim (no. 1055).
[10] Lihat kitab Syarhu Shahiihi Muslim (7/146).
[11] Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).
[12] HR at-Tirmidzi (no. 2305) dan Ahmad (2/310), dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.
____________________
Sumber: http://manisnyaiman.com/keutamaan-sifat-qona’ah/
readmore »»  
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS